Oleh: Dr. Daris Tamin, M.Pd.
(Kaprodi BKPI STAI Persis Garut)

Integrasi (incorporation) antara bimbingan dan konseling dengan spiritual dan religius adalah upaya “menenun” dua wilayah yang menyentuh kesehatan mental manusia. Integrasi ini sesungguhnya sedang memasuki arus besar konseling Abad 21. Semangat intergrasi konseling dan spiritualitas sebagaimana didengungkan Geri Miller (2003), Djawad Dahlan (2003), Cashwell & Young (2005), dan Dennis Lines (2006) telah memicu lahirnya berbagai praksis yang terkait dengan terminologi baru, yang kemudian disebut konseling spiritual. Bahkan, kecenderungan kuatnya integrasi ini telah mendorong ide agar spiritual dijadikan sebagai angkatan kelima dalam konseling dan psikoterapi (Stanard et.al. dalam Surya, 2008, hlm. 44).

Secara historis, integrasi antara bimbingan dan konseling dengan spiritual dan religius memiliki lintasan sejarah perkembangan yang cukup panjang. Akar hambatan (barriers) integrasi spiritual dan agama dengan konseling terjadi karena konflik historis yang cukup panjang antara keduanya. Konflik historis ini mempengaruhi segala pandangan dan tindakan konselor dalam proses konseling. Pandangan negatif konselor terhadap spiritual dan agama klien akan mempengaruhi sensitifitas konselor terhadap masalah-masalah klien yang berkaitan dengan agama. Jika muncul bias konselor terhadap spiritual dan keyakinan agama klien, maka bukan tidak mungkin klien akan melakukan countertransference terhadap proses konseling karena merasa tidak mendapat pelayanan yang tepat.

Konflik historis dimulai pada akhir Abad XIX ketika psikologi memulai perkembangannya. Pada saat itu, para pendeta Kristen menjadi pemegang otoritas kebenaran di Eropa dan Amerika. Para pendeta saat itu memandang negatif terhadap pemikiran Freud (1927) dan psikolog lainnya yang berupaya membangun psikologi sebagai disiplin yang terpisah dari agama (Zeiger & Lewis dalam Miller, 2003, hlm. 24). Suasana saat itu digambarkan seolah-olah agama bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Freud menyebut agama sebagai sebagai ilusi, infantile, dan hanya ekspresi atau impuls neurotik dari klien.

Para psikolog behaviorist yang memulai dominasinya pada tahun 1920-an, memandang bahwa perilaku manusia bersifat deterministik dan mekanistik. Watson, sebagai salah seorang pemimpin aliran Behaviorisme meyakini bahwa perilaku manusia dikontrol oleh pertukaran Stimulus-Respon yang memunculkan reductionism, atomism, materialism, dan mechanism. Kausalitas lingkungan tidak memandang adanya konsep “soul” (ruh atau jiwa) dalam ruang dalam (inner world) individu. Manusia diibaratkan mesin yang dikontrol oleh lingkungannya. Watson memandang bahwa agama akan menarik psikologi sebagai ilmu pengetahuan untuk mundur ke belakang. Skinner (1953) mengatakan bahwa agama merupakan hasil dari penguatan stimulus. Dia mengkritik agama karena menggunakan penguatan dengan ancaman hukuman.

Psikologi berupaya untuk membedakan diri dari agama dengan memposisikan diri sebagai ilmu pengetahuan berdasarkan hukum universal yang menjelaskan manusia dan perilaku manusia. Upaya panjang ini telah mengakibatkan peran antagonis terhadap agama. Psikologi menolak konsep spiritual tentang eksistensi a Higher Power yang mempengaruhi perilaku manusia. Kekuatan Mahaagung tersebut dianggap tidak nyata, tidak dapat dilihat dan tidak dapat disentuh.

Menyadari kemungkinan terjadi kontraproduktif dari proses konseling akibat konflik historis tersebut, para pakar konseling menekankan pentinganya jembatan yang dapat menghubungkan antara spiritual dan agama dengan konseling. Sebagaimana hambatannya, jembatan tersebut juga memiliki sejarah panjang. Miller (2003, hlm. 30) menyebutkan tiga jembatan penghubung konseling dengan agama. Pertama, sebagaimana konseling, agama dapat membantu individu untuk berubah, berkembang, dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Agama juga dapat mendorong individu untuk berfungsi dalam kerangka kerja kehidupan yang lebih tinggi. Kedua, sebagaimana konseling agama juga dapat membantu individu untuk mengembangkan a sense of self (rasa diri) dan kedewasaan. Ketiga, sebagaimana konseling, agama dapat membantu individu  mengembangkan potensi diri.

Secara teoretis, sebenarnya psikologi telah menyebut adanya aspek pengalaman spiritual dalam diri individu. Aspek inilah yang dapat dideskripsikan sebagai pendekatan yang lebih simpatik terhadap agama. Para pakar psikologi telah menekankan pentingnya pendekatan yang lebih kooperatif dan kolaboratif antara konseling dengan spiritual dan agama. William James (1842–1910) memandang bahwa agama diperlukan untuk kehidupan. Dia percaya bahwa kombinasi antara kecerdasan dan inspirasi dapat membantu individu mencapai derajat tinggi sebagai makhluk yang dapat mengakibatkan yang lain juga mencapai tingkat yang lebih tinggi pula sehingga menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik.

Frank Parsons (1854–1908) memandang bahwa agama dan spiritual dapat membantu individu berkembang secara positif. Carl Gustav Jung (1875–1961) yang terpengaruh oleh pandangan James juga mendorong para konselor untuk memeriksa ranah agama klien mereka. Jung melihat tradisi agama memfasilitasi pengembangan diri. Jung memandang bahwa diri (self) sebagai fulcrum (titik tumpu) kepribadian yang berfungsi menjaga kesimbangan antara elemen sadar dan bawah sadar.

Gordon Allport (1897–1967), tokoh utama gerakan psikologi Humanistik Abad XX, memandang bahwa individu memiliki potensi positif yang di dalamnya tergabung kebutuhan spiritual dan nilai-nilai yang tidak tersentuh oleh agama konvensional. Demi menguatkan pandangannya, Allford mengembangkan skala untuk mengukur orientasi agama, baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Allport berusaha menilai orang religius dewasa dalam hal enam sifat, antara lain diferensiasi, dinamika, direktif, komprehensif, integral, dan heuristik.

Pada tahun 1960-an, para ahli psikologi Kognitif memandang bahwa kemungkinan ide tentang kontrol diri (self-control) membuka psikologi memasuki dunia dalam (inner world) dari individu yang di dalamnya tercakup dimensi spiritual. Pada tahun yang sama juga ditemukan hubungan antara moralitas dengan agama serta korelasi positif antara moralitas kesuksesan dalam pekerjaan.

Erich Fromm (1900–1980) yang juga psikolog Humanisitik meyakini bahwa agama dapat membantu klien. Dia memandang bawha manusia membutuhkan kerangka bimbingan (guiding framework) dan tempat pengabdian (ibadah) untuk mengatasi realitas kesendirian dan kematian. Selanjutnya, Fromm menggambarkan dua jenis agama, yaitu: Pertama, agama otoriter yang menghambat potensi manusia. Kedua, agama humanistik yang fokus pada pengembangan potensi manusia.

Sejarah mencatat bahwa jembatan integrasi yang menghubungkan antara konseling dengan agama dan spiritual telah memunculkan beberapa fenomena, seperti berdirinya kelompok profesional, dibukanya jenjang program dan pemagangan, diterbitkannya jurnal, dilakukannya riset, diterbitkannya buku teks, dibuknya pusat-pusat penanganan (treatment centers), dan tersebarnya literatur teori tentang integrasi spiritual dan agama dengan konseling.

Terkait dengan berdirinya kelompok professional, Miller (2003, hlm. 33) mengklasifikasi menjadi dua tipe, yaitu: Pertama, kelompok yang menggabungkan (merged) agama dengan profesional dalam kesehatan mental, seperti Christian Association for Psychological Studies (1953), Academy of Religion and Mental Health (1954), dan American Foundation of Religion and Psychiatry (1958). Kedua, kelompok pemerhati khusus dalam kelompok besar, seperti Friends Conference on Religion and Psychology bagian dari the World Conference of Friends at Swarthmore (1937), Association for Spiritual, Ethical, and Religious Values in Counseling bagian dari the American Counseling Association (1950-an), Psychological Interpretations in Theology bagian dari the American Academy of Religion (1973), dan Psychology of Religion [Division 36] bagian dari the American Psychological Association (1947).

Bukti lain dari integrasi juga mucul di kalangan akademisi. Pada tahun 1965, Fuller Theological Seminary mulai menawarkan gelar doktor dalam bidang psikologi yang disetujui oleh APA. Program doktoral integrasi psikologi dan agama juga ditawarkan oleh Azusa Pacific University, Biola University, Boston University, George Fox University, Loyola University, Regent University, dan Wheaton College. Tercatat pula program nonakreditasi menawarkan program master integrasi spiritual dan agama dengan konseling (Miller, 2003, hlm. 33).

Pada tahun 1996, Vande Kamp juga mencatat bukti integrasi tersebut melalui terbitnya literatur jurnal dan buku. Beberapa jurnal yang tercatat, antara lain: Inward Light: Journal of the Friends Conference on Religion and Mental Health (1937), Counseling and Values (1956), Journal of Religion and Health Insight (1961), Quarterly Review of Religion and Mental Health (1961), Journal of Transpersonal Psychology (1969), Journal of Psychology and Theology (1973), Journal of Psychology and Judaism (1976), dan Journal of Psychology and Christianity (1982). Adapun buku teks, antara lain caturlogi Formative Spirituality yang ditulis Adrian van Kaam (1995) yang salah satu bukunya berjudul Transcendence Therapy.

Pada tahun 1979, Rizzuto melakukan integrasi dengan mendalami persepsi klien dengan cara merefleksikan “Tuhan” dalam primary introjects dari sesi konseling. Tujuan integrasi ini adalah untuk mengetahui internal perspective dari klien. Pada tahun 1989, Amit Kumar Das mengintegrasikan konseling humanistic Maslow dan Rogers dengan Vedandic Hinduism dan Buddhism (Theravada and Mahayana) yang menekankan tentang aktualisasi diri (self-actualization).

Pada tahun 1993, J.R. Suler (1993) mengintergrasikan Psikoanalisis dengan Buddhisme. Pada tahun 1994, D.L. Mattson membuat formula “three Ps”, dalam sesi konseling, yaitu: place (menata tempat konseling bernuansa spiritual), person (konselor memahami nilai spiritual klien), dan philosophy (konselor dan klien saling menyadari untuk saling memfasilitasi dimensi spiritual masing-masing). Pada tahun 1996, Elizabeth Hermsen mengintegrasikan aspek complimentary (unconditional positive regard) dari teori Rogers tentang Terapi Client-Centered dengan Taoisme.

Pada tahun 1996, K.E. Farnsworth menemukan tiga tipe konselor dalam perspektif Kristiani, yaitu: Pertama, tipe CNO: Christians in Name Only, yaitu konselor yang bergantung hanya kepada psikologi dan kurang banyak menggunakan teologi. Kedua, tipe BGG: Bible-grounded and Bible-guided, yaitu konselor yang menggunakan Bible untuk menjelaskan masalah dan solusinya tetapi sama sekali mengabaikan psikologi. Ketiga, CBS: Christ-centered, Bible-based, and Spirit-inspired, yaitu yang konselor yang mendedikasikan konseling untuk Kristus. Mereka disebut true Christian counselor karena mengikuti prinsip-prinsip Bible dan menggunakan  holy spirit untuk menentukan prosedur dalam konseling.

Sebelum temuan Farnsworth, Hidnson (1982, hlm. 207-19) pernah mengemukakan tentang munculnya perdebatan tentang berdosa atau tidaknya menggunakan Kitab Suci dalam konseling. Namun, aplikasi intervensi konseling dan psikoterapi melalui Kitab Suci berkembang cukup pesat. Istilah yang muncul kemudian adalah Scripture Counseling, yaitu wahana konseling dengan menggunakan kata-kata Tuhan atau the word of God or gods (Mack, 1998, hlm. 63; McCarron, 2004, hlm. 8; Garzon, 2005, hlm. 113; Tan, 2009, hlm. 37).

Tan (2009, hlm. 7) menyebut konseling ini sebagai inspirasi dari atau oleh Tuhan (inspired of/by God). Salah satu teknik konseling Kitab Suci adalah melalui membaca Kitab Suci (reading scripture). Lines (2006, hlm. 160-161) menjelaskan “Reading scripture has regularly been viewed as appropriate in religious counseling, both for spiritual edification and as a source of teaching on how to live.” Sebagai Teks Agama, Kitab Suci kaya dengan sejarah spiritual dan kebajikan moral sebagai pembelajaran hidup dari Tuhan.

Kalangan Muslim juga mempraktekkan intergrasi ini, yaitu dengan menggunakan pembacaan Al-Quran. Salah satunya adalah Dr. Ahmad Al-Qadhi di Klinik Akbar di Florida Amerika Serikat. Pada tahun 1984, Al-Qadhi melaporkan hasil risetnya bahwa sekadar mendengarkan bacaan ayat-ayat Al-Quran, seorang Muslim, baik yang bisa bahasa Arab maupun yang tidak, dapat merasakan perubahan fisiologis yang besar, seperti penurunan depresi, kesedihan, bahkan dapat memperoleh ketenangan, menolak berbagai penyakit, dan merasakan perubahan lainnya hingga 95% (Badri, 2000, hlm. 47-48, Akhmad, 2014, hlm. 8-9). Aziz Ahmad Quadri, seorang psikiater di Mental Health Center, Aurangabad India, juga melakukan praktek terapi melalui treatment dengan mengajak dialog kepada klien menggunakan ayat-ayat Al-Quran yang disesuaikan dengan gejala-gejala gangguan psikologis yang dialami oleh pasiennya.

Pedak (2009, hlm. 52) menyimpulkan bahwa membaca Al-Quran dengan lisan mampu meningkatkan kualitas emosi positif pembacanya. Hal ini disebabkan karena impuls tidak hanya datang dari penglihatan tetapi juga dari pendengaran. Selain itu, membaca Al-Quran dengan pemaknaan akan memberi dampak positif pada kecerdasan dan emosi. Salim (El-Syakir, 2014, hlm. 197) menjelaskan bahwa seseorang merasa tenang sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur’an.

Aplikasi integrasi Al-Quran dalam konseling juga pernah dilakukan oleh Shaima Ahammed pada tahun 2010. Dalam artikel yang berjudul Applying Qur’anic Metaphors in Counseling, yang dalam International Journal for the Advancement of Counselling, Volume 32, Number 4, December 2010 , hlm. 248-255(8), Ahammed menjelaskan tentang aplikasi metafora Al-Quran dalam konseling. Ahammed menjelaskan bahwa, “the value of Qur’anic metaphors as therapeutic tools in counseling.”

Dalam konteks sejarah integrasi Al-Quran dalam konseling di Indonesia, tercatat pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Tahun 2005 oleh Uman Suherman. Tahun 2006 oleh Anwar Sutoyo. Tahun 2015 oleh Muhammad Edi Kurnanto dan Daris Tamin.

Uman Suherman (2005, hlm. 121) mengembangkan model konseling Qurani untuk mengembangkan keterampilan hubungan sosial. Kesimpulannya, bahwa konseling Qurani dapat mengembangkan keterampilan hubungan sosial Sedangkan Anwar Sutoyo (2006, hlm. 198) mengembangkan pendekatan konseling Qurani untuk meningkatkan religiusitas. Kesimpulannya, bahwa pendekatan Konseling Qurani dapat meningkatkan religiusitas yang terkait dengan pemahaman, yang awalnya dipahami salah berubah menjadi pemahaman yang benar.

Muhammad Edi Kurnanto (2016) mengembangkan model Bimbingan Berbasis Surat Al-Fatihah untuk meningkatkan religiusitas siswa. Hasilnya mengkonfrmasi bahwa BBSA efektif untuk meningkatkan religiusitas siswa. Sedangkan Daris Tamin (2016, hlm. 357) mengembangkan Kerangka Kerja Bimbingan dengan Pendekatan Tadabbur Al-Quran untuk Pengembangan Karakter Sabar Remaja. Hasil penelitiannya mengkonfirmasi bahwa bimbingan dengan pendekatan tadabbur Al-Quran dapat dijadikan sebagai wahana bantuan bagi remaja untuk merenung secara mendalam, berpikir dengan akal sehat secara jernih, logis, rasional, analitik, visioner, serta menyatukan pikiran dan perasaan melalui proses literasi dengan menggunakan Kitab Suci Al-Quran sebelum memutuskan suatu tindakan.

 

Referensi:

Ahammed, S. (2010). Applying quranic methapors in counseling. Int J Adv Counseling (2010) 32:248-255 DOI 10.1007/s10447-010-9104-2 .

Badri, M. (2000). Contemplation an Islamic Psychospiritual Study, Kuala Lumpur: Shelbourne Enterprise Sdn. Bhd.

Lines. D (2006). Spirituality in Counseling and Psychotherapy, London: Sage Publications.

Dahlan, M.D. (2003), Presfektif Filosofis-Religius dalam Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling. Dalam kumpulan makalah utama Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling.

Kurnanto, M.E. (2015). Peningkatan Religiusitas Siswa Dengan Model Bimbingan Berbasis Surah Al-Fatihah: Studi Quasi Eksperimen di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 9 Pontianak. Disertasi SPs UPI Bandung, Tidak Diterbitkan.

Miller. G (2003). Incorporating Spirituality in Counseling and Psychotherapy Theory and Technique, New Jersey: John Wiley & Sons. Inc.

Pedak. M. (2009). Qur’an for Gen; Mukjizat Terapi Quran untuk Hidup Sukses, Jakarta: Kawah Media.

Quadri, A.H. (2012). The Holy Quran and Psychotherapy. Aurangabad: Mental Health Center.

Suherman,U.(2005). Pendekatan Konseling Qur’ani untuk Mengembangkan Keterampilan Hubungan Sosial: Studi Deskriptif-Analitik Tentang Kandungan Nilai Surat Ayat An- Nahl 125 dan Ali Imran Ayat 159 Dalam Konseling Pada Pesantren Persatuan Islam 99 Rancabango Kabupaten Garut, Disertasi SPs UPI Bandung, Tidak Diterbitkan.

Surya, M (2008). Mewujudkan Bimbingan dan Konseling Profesional, Bandung: Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP UPI Bandung.

Sutoyo. A (2009). Bimbingan dan Koseling Islami; Teori dan Praktik, Semarang: Widya Karya.

Tan, E. (2004). Counseling in school: Theories, processes and techniques, Singapore: McGraw Hill Education.

Tamin, D. (2016). Kerangka Kerja Bimbingan dengan Pendekatan Tadabbur Al-Quran untuk Pengembangan Karakter Sabar Remaja. Disertasi SPs UPI Bandung, Tidak Diterbitkan.

Young. J.S & Cashwell. C.S. (2005). Integrating Spirituality and Religion Into Counseling, Alexandria: American Counseling Association.

Leave a Comment