Oleh: Dr. Daris Tamin, M.Pd.
Kaprodi BKPI STAI Persis Garut
Karunia utama bulan Ramadhan adalah Lailatul Qadar. Malam penuh keberkahan, kebaikan, dan keselamatan ini adalah kesempatan yang paling dicari oleh orang-orang yang imannya sedang memuncak. Allah pun sengaja merahasiakan puncak dari “the golden opportunity” ini agar para pencarinya tetap membentangkan motivasinya sepanjang sepuluh hari akhir dari bulan Ramadhan tersebut. Rasul pun tidak memberikan kepastian kehadirannya, namun hanya memberikan kata-kata kunci di malam-malam ganjil. Sungguh, momentum Lailatul Qadar menjadi wahana yang benar-benar diciptakan oleh Yang Maha Mengetahui kecenderungan perilaku manusia.
Alasan Lailatul Qadar disebut malam kemuliaan karena: (1) Allah menurunkan Alquran sebagai Kitab petunjuk pada kebahagiaan bagi manusia di dunia dan akhirat pada malam tersebut; (2) ia lebih baik daripada seribu bulan; (3) para malaikat turun untuk menebarkan keberkahan, kebaikan, dan keselamatan; (4) pada malam tersebut banyak orang yang melakukan ketaatan diselamatkan dari hukuman dan siksaan neraka; dan (5) Allah menjelaskan malam tersebut dalam satu surat khusus yang dibaca sepanjang masa.
Lailatul Qadar hanya terjadi setahun sekali di bulan Ramadhan saja. Tidak ada malam kemuliaan setara Lailatul Qadar di bulan lainnya. Kesempatannya hanya sekali, semalam saja. Waktunya terentang mulai dari tenggelamnya matahari sampai terbit fajar. Benar-benar kesempatan yang sangat singkat jika dibandingkan dengan akumulasi malam-malam dalam satu tahun.
Al-Utsaimin menjelaskan bahwa sejak umat terdahulu, Lailatul Qadar selalu selalu hadir di setiap tahun. Namun, kemuliaannya hanya diberikan kepada umat akhir zaman, umat Nabi penutup para nabi dan utusan. Malam mulia ini akan tetap terjadi sampai tibanya hari Kiamat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim bahwa Abu Dzarr pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang Lailatul Qadar, apakah ia terjadi di bulan Ramadhan atau di bulan yang lain? Rasul menjawab, “Ia terjadi di bulan Ramadhan.” Abu Dzarr bertanya lagi, “Apakah ia hanya terjadi seiring adanya para nabi, kapan pun mereka, sehingga jika mereka wafat, maka Lailatul Qadar juga hilang, atau apakah ia tetap ada sampai hari Kiamat? Rasul menjawab, “Ia akan tetap ada sampai hari Kiamat.”
Lailatul Qadar ditebarkan ke segenap penjuru alam. Namun, keberkahan dan pahalanya dikhususkan bagi umat Islam. Kehadirannya setiap tahun berpindah-pindah, tidak menetap pada pada malam yang sama. Namun pola sama, yaitu pada malam ganjil. Bahkan, dalam Hadits Riwayat Al-Bukahri diceritakan bahwa Rasulullah memberikan kata kuci polanya, yaitu: “Carilah ia pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” Sebagaimana sudah disebutkan di awal, bahwa kehadirannya sengaja dirahasiakan sebagai bentuk kasih sayang agar para pencarinya dinamis dalam perburuan tersebut melalui aneka cara dalam bentuk peribadatan di sepanjang sepuluh malam terakhir.
I’tikaf adalah Zona Pembidikan yang Akurat
Pencarian Lailatul Qadar di sepuluh malam terakhir adalah ruang peluang. Adapun malam-malam ganjilnya adalah kuantitas terukur ketika mencari kejadian tunggal yang berkembang dari waktu ke waktu dalam mode yang tampaknya acak. Perspektif teori peluang akan mengatakan bahwa kemungkinan berhasil menemukan fenomena Lailatul Qadar ada pada tiga malam yang karakterisitiknya sudah sangat jelas tersebut.
Walaupun peluang itu sangat terbuka dan titik di area perburuan sudah sangat jelas, namun nihilnya perburuan Lailatul Qadar masih mungkin terjadi. Orang-orang yang beriman yang melaksanakan puasa sampai hari-hari di sepertiga terakhir, dimungkinkan untuk tidak mendapati Lailatul Qadar ketika ia tidak berada pada zona pembidikan yang akurat.
Zona pembidikan yang akurat tersebut adalah i’tikaf. Wahana berupa berdiam diri di masjid untuk mengkonsentrasikan diri dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Berkontemplasi untuk mendekatkan diri dan bermunajat kepada Allah melalui dzikir dan doa serta ibadah-ibadah lainnya. Demi meningkatkan kesungguhan dan memberikan keteladanan pada umatnya, Rasulullah pun beri’tikaf selama sepuluh hari terakhir. Beliau berdiam diri di masjid. Intensitas komunikasi dan interaksi dengan keluarganya dikurangi untuk sementara waktu. Bahkan, beliau tidak keluar masjid, kecuali untuk kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan saja. Waktunya benar-benar didedikasikan untuk beri’tikaf di masjid. Jadi, korelasi antara i‘tikaf dengan Lailatul Qadar terletak pada tujuan i’tikaf, yaitu untuk mendapatkan pahala dan karunia Allah serta Lailatul Qadar.
Urgensi I’tikaf sebagai wahana mendapatkan Lailatul Qadar dapat ditinjau dari perspektif adab dan fiqh i’tikaf. Hukum i’tikaf telah disepakati masuk kategori sunnah, tidak sampai wajib. Namun, Rasul sangat disiplin dalam melaksanakannya setiap tahun. Suatu tahun, Rasul pernah mengurungkan niatnya beri’tikaf tetapi menggantinya di bulan Syawwal di tahun yang sama. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya wahana i’tikaf tersebut.
Demi meningkatkan kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada Allah, Rasulullah memutus untuk sementara sebagian interaksi dan komunikasi dengan manusia bahkan dengan keluarganya. Interaksi dilakukan untuk hal-hal yang mendesak saja. Hubungan biologis suami-istri pun dilarang sehingga yang melakukannya ketika ada pada masa i’tikaf, dihukumi batal i’tikafnya. Adapun kebutuhan biologis lainnya, seperti makan, minum, buang hajat yang menuntut dilakukan di luar masjid tidak dikategorikan membatalkan i’tikaf. Namun, Rasulullah sangat menjaga diri dari keluar masjid kecuali untuk hal-hal yang darurat saja.
I’tikaf Ibarat Alat Penjaring yang Efektif
I’tikaf dengan berbagai aneka ibadah privat lainnya dalam rangka berkhalwat dengan Allah, seperti salat, munajat melalui doa dan dzikir, membaca Alquran, dan yang lainnya diibaratkan sebagai alat penjaring yang efektif untuk mendapatkan Lailatul Qadar. I’tikaf ibarat jala yang bentangkan dan dilemparkan untuk menangkap “ikan-ikan” berupa keberkahan, kebaikan dan keselamatan yang dibawa oleh arus gelombang Lailatul Qadar.
Kuantitas dan kualitas ibadah privat tersebut tentu akan sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan keberkahan, kebaikan dan keselamatan yang dibawa pada malam yang lebih baik dari seribu bulan tersebut. Sedemikian banyak kebaikan yang akan bertebaran pada Lailatul Qadar membutuhkan jala/jaring yang beraneka sesuai dengan fungsinya.
Orang yang beri’tikaf penuh di sepuluh malam terakhir dan berupaya tanpa kenal lelah untuk mendapatkan Lailatul Qadar diibaratkan seperti para penangkap ikan yang sudah berada di zona pembidikan yang akurat dan sudah siap dengan peralatan serba lengkap dan efektif untuk menangkap ikan yang sedang tumpah ruah, maka dapat diperkirakan hasil yang akan didapatkannya pun akan melimpah.
Dilema Bagi yang Tak Bisa I’tikaf
Setiap orang beriman tentu ingin mendapatkan Lailatul Qadar. Semua ingin mendapatkan limpahan karunia keberkahan, kebaikan, dan keselamatan dari malam yang lebih baik dari seribu bulan. Namun, tidak semua punya kesempatan untuk beri’tikaf secara penuh di sepuluh malam terakhir seideal yang dicontohkan oleh Rasulullah. Masih banyak orang-orang yang tidak beri’tikaf secara penuh dengan berbagai alasan. Bukan sekadar karena malas, tetapi sebagian tidak beri’tikaf karena merasa harus ideal. Kurang satu hari saja tidak bisa di masjid, mengganggap i’tikafnya batal walaupun tidak melakukan larangan yang benar-benar membatalkan i’tikaf. Hal itu bisa terjadi, baik pada laki-laki maupun perempuan. Lantas, masihkan adakah secercah harapan bagi mereka yang kurang berkesempatan tersebut?
Sebagian orang beranggapan jika tidak bisa i’tikaf penuh lebih baik tidak beritikaf di masjid. Kasus itu bisa terjadi pada orang-orang yang masih bekerja ketika masa i’tikaf sudah tiba. Para pedagang di pasar jelang lebaran juga demikian, tidak bisa total i’tikaf karena tidak bisa melewatkan musim “marema”. Demikian pula para wanita bersih dari haidnya sudah melewati beberapa hari masa i’tikaf tetapi masih ada kesempatan masih tersisa. Kasus lainnya, ada pula wanita yang tidak mendapatkan izin dari suami dan/atau orang tua/walinya. Mereka menghadapi dilema dan akhirnya memutuskan untuk tidak i’tikaf sama sekali.
Realita yang ditemukan pada sebagian orang yang memutuskan untuk tidak beri’tikaf karena alasan tidak bisa total atau dianggap tidak i’tikaf oleh lingkungannya, mereka menghabiskan waktu untuk tidur di rumah dan menghabiskan waktu untuk sekadar nonton TV atau aktivitas yang sama sekali tidak bermanfaat bagi penguatan keimanannya. Keadaan ini justru kontraproduktif dengan tujuan dari puasa Ramadhan itu sendiri. Target ketakwaan yang ingin diraih terindikasi kendor karena di akhir Ramadhan melewatkan wahana untuk meningkatkan keimanan disebabkan oleh pemahaman yang diyakininya benar secara mutlak tentang beri’tikaf.
Harapan itu Masih Ada; I’tikaflah Walaupun Hanya Sesaat
Para ulama berbeda pendapat tentang rentang waktu minimal seseorang berdiam di masjid, sehingga dapat dikatakan melakukan i’tikaf. Abu Hanifah, sebagian Malikiyah, dan salah satu ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu minimalnya adalah sehari atau melewati siang hari. Mayoritas Malikiyah berpendapat waktu minimalnya adalah sehari semalam. Ada juga yang berpendapat boleh i’tikaf sehari saja atau semalam saja. Ada pula yang membolehkan i’tikaf sehari saja atau semalam saja. Jumhur ulama, Ibnu Hazm dan An-Nawawi berpendapat boleh walaupun hanya sesaat. Demikian pula pendapat Ibnu Baz dan Al-Fauzan.
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang batas minimal i’tikaf, bahwa ada persoalan yang lebih penting daripada sekadar memperdebatkan perbedaan tersebut. Persoalan itu adalah bagaimana membimbing orang-orang agar tidak terjerumus pada kelalaian setelah meyakini bahwa beri’tikaf harus sempurna sepuluh hari, jika tidak maka tidak disebut i’tikaf, lalu mereka menghabiskan waktunya untuk aktvitas yang justru tidak bermanfaat, seperti tidur, nonton TV, nongkrong di jalanan, dan lain sebagainya.
Jumhur ulama memandang lebih penting menjaga stabilitas keimanan orang-orang dengan membolehkan beri’tikaf walaupun hanya sesaat. Merujuk pada pendapat jumhur ulama, bahwa bagi mereka yang siang harinya sibuk dengan aktivitas harian, maka sempatkanlah berdiam diri di masjid walaupun hanya sesaat dengan niat untuk beri’tikaf. Dengan juga sebaliknya, mereka yang sedang mendapat giliran pekerjaan di malam hari, maka sempatkanlah berdiam diri di masjid di siang hari dengan berniat untuk beri’tikaf walaupun hanya sesaat.
Bagi para wanita yang tidak mendapat izin dari suami dan/atau orang tua/walinya untuk beri’tikaf, maka jaga azam (tekad yang kuat) untuk beri’tikaf pada kesempatan berikutnya. Mohonlah kepada Allah agar tahun depan diberikan kesempatan untuk dapat melakukannya. Jagalah api motivasi itu tetap agar tetap menyala dan jangan sampai padam. Bagi mereka yang berhalangan syar’I sehingga tidak bisa keluar, hiduplah malam-malam tersisa itu dengan bermunajat kepada Allah melalui melalui doa dan dzikir dan berkhalwat dengan membaca kalam-kalam-Nya. Mohonlah untuk tetap bisa menemui Lailatul Qadar walaupun dalam segala ketidakberdayaan.
Jika sampai waktu bisa bermunajat dalam niat i’tikaf, perbanyaklah memohon ke’afiyatan, pemaafan agar dosa-dosa yang pernah dilakukan tidak hanya sekadar diampuni tetapi benar-benar dihapus dan tidak disebut-sebut di hadapan manusia seluruh saat di alam Mahsyar kelak. Ucapakn berulang-ulang: “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul-‘afwa fa’fu ‘aanni (Ya Allah, Engkau Maha Memberikan Maaf dan Engkau suka memberikan maaf—menghapus kesalahan–, karenanya, maafkanlah aku—hapuslah dosa-dosaku).”
Akhirnya, mari sama-sama berdoa, “Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang berpuasa di bulan ini, menjumpai Lailatul Qadar dan memperoleh keberuntungan dengan pahala yang besar. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang terdepan dalam kebaikan, lari dari kemungkaran, serta merasakan keamanan Surga Bersama orang-orang yang telah Engkau beri nikmat dan Engkau jaga dari kejelekan. Ya Allah, jagalah kami dari fitnah-fitnah yang menyesatkan, serta jauhkanlah kami dari segala kekejian, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Ya Allah, berilah kami rezeki untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu. Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang dijaga oleh-Mu dan orang-orang yang taat kepada-Mu. Berilah kami kebaikan di dunia, kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka. Ampunilah dosa kami, dosa kedua orang tua kami, dan dosa seluruh kaum muslimin, dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Penyayang di antara para penyayang.” Aamiin.